Penunjuk Penanaman Modal
PENUNJUK
UNDANG-UNDANG
PENANAMAN MODAL
1 tahun
~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) c.]
2 tahun
~ fasilitas pemberian izin tinggal terbatas penanam modal asing
Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu: a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) a]
~ izin tinggal terbatas dapat menjadi izin tinggal tetap
pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) b.]
~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan [UU 25/2007 Pasal 23 (3) d.]
3 tahun
~ berlakunya Peraturan Presiden
Peraturan Presiden ini berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diundangkan atau apabila dipandang perlu dapat ditinjau kembali sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan yang penetapannya dengan Peraturan Presiden. [Perpres 77/2007 Pasal 3 (1)]
~ daftar bidang usaha masih tetap berlaku
Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) tahun terlewati dan ternyata daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang baru belum diatur, maka Peraturan Presiden yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan masih tetap berlaku. [Perpres 77/2007 Pasal 3 (1)]
12 bulan
~ jangka waktu paling lama sejak izin tinggal terbatas
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) c.]
24 bulan
~ jangka waktu paling lama sejak izin tinggal terbatas
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan [UU 25/2007 Pasal 23 (3) d.]
~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal tetap
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. [UU 25/2007 Pasal 23 (3) e.]
25 tahun
~ Hak Pakai dapat diperbarui
• Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) c]
• Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Pasal 22 (1) c]
30 tahun
~ Hak Guna Bangunan dapat diperbarui
• Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) b]
• Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan [UU 25/2007 Pasal 22 (1) b]
35 tahun
~ Hak Guna Usaha dapat diperbarui
• Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) a]
• Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
45 tahun
~ Hak Pakai dapat diperpanjang di muka sekaligus
• Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) c]
• Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diper-barui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Pasal 22 (1) c]
50 tahun
~ Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang di muka sekaligus
• Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) b]
• Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan [UU 25/2007 Pasal 22 (1) b]
60 tahun
~ Hak Guna Usaha dapat diperpanjang di muka sekaligus
• Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) a]
• Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
70 tahun
~ Hak Pakai diberikan
Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Pasal 22 (1) c]
80 tahun
~ Hak Guna Bangunan diberikan
Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan [UU 25/2007 Pasal 22 (1) b]
95 tahun
~ Hak Guna Usaha diberikan
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
A
Akuntabilitas
~ asas penyelenggaraan penanaman modal
Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [UU 25/2007 Pasal 3 (1)]
~ kriteria wajib pemerintah daerah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 30 (3)]
Alat peledak
Yang dimaksud dengan alat peledak adalah alat yang digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 12 (2)]
~ bidang usaha yang tertutup
Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. [UU 25/2007 Pasal 12 (2)]
Alih teknologi
~ kewajiban Perusahaan penanaman modal
Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 10 (4)]
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
melakukan alih teknologi; [UU 25/2007 Pasal 18 (3) d.]
Amortasi
~ dipercepat
penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan [UU 25/2007 Pasal 18 (4) e.]
Arbitrase
~ penyelesaian sengketa
Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [UU 25/2007 Pasal 32 (2)]
~ penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. [UU 25/2007 Pasal 32 (3)]
~ penyelesaian tentang kompensasi atau ganti rugi
Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. [UU 25/2007 Pasal 7 (3)]
Arbitrase Internasional
~ penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan penanam modal asing
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. [UU 25/2007 Pasal 32 (4)]
Area yang luas
Yang dimaksud dengan area yang luas adalah luas tanah yang diperlukan untuk kegiatan penanaman modal dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk, bidang usaha, atau jenis usaha yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (2) c]
Asas
~ akuntabilitas
Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) c]
~ berkelanjutan
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) g]
~ berwawasan lingkungan
Yang dimaksud dengan asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) Huruf h]
~ efisiensi berkeadilan
Yang dimaksud dengan asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) f]
~ kebersamaan
Yang dimaksud dengan asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) e]
~ kemandirian
Yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) Huruf i]
~ kepastian hukum
Yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) a]
~ keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Yang dimaksud dengan asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) Huruf j]
~ keterbukaan
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) b]
~ perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara
Yang dimaksud dengan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 3 (1) d]
Aset
~ hasil penjualan
hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). [UU 25/2007 Pasal 8 (3) l.]
~ pengalihan
Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 8 (1)]
~ yang dikuasai oleh negara
Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. [UU 25/2007 Pasal 8 (2)]
B
Badan Koordinasi Penanaman Modal
~ bertanggung jawab
Badan Koordinasi Penanaman Modal bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan Peraturan Presiden ini. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (5)]
~ bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. [UU 25/2007 Pasal 27 (3)]
~ bertugas melaksanakan pelayanan
Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 28 (2)]
~ keharusan melibatkan perwakilan secara langsung
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan. [UU 25/2007 Pasal 29]
Badan Koordinasi Penanaman Modal
~ kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. [UU 25/2007 Pasal 27 (4)]
~ laporan kegiatan penanam modal secara berkala dari penanam modal
Laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 15 Huruf c]
~ laporan tentang kegiatan penanaman modal dari penanam modal
membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; [UU 25/2007 Pasal 15 c.]
~ melaksanakan koordinasi kebijakan penanaman modal
Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 27 (2)]
~ membantu penyelesaian hambatan dan konsultasi
membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) h.]
~ membuat peta penanaman modal
membuat peta penanaman modal Indonesia; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) e.]
~ mempromosikan
mempromosikan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) f.]
~ menetapkan norma, standar, dan prosedur
• Dalam rangka penetapan norma, standar, dan prosedur Badan Koordinasi Penanaman Modal berkoordinasi dengan departemen/ instansi terkait. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 28 (1) c]
• menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) c.]
~ mengembangkan peluang dan potensi
mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) d.]
~ mengembangkan sektor usaha
mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) g.]
~ mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan
mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) b.]
~ mengoordinasi
mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan [UU 25/2007 Pasal 28 (1) i.]
~ mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu
mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. [UU 25/2007 Pasal 28 (1) j.]
~ rekomendasi pemberian fasilitas keimigrasian
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (2)]
~ rekomendasi pemberian izin tinggal terbatas
Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (4)]
~ tugas dan fungsi
Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) a]
Badan Usaha Milik Negara
~ kerja sama berdasarkan ketentuan peraturan perundangan
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dapat berupa rekomendasi dari instansi/lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, dalam bidang usaha tersebut. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (6)]
Badan hukum
~ badan usaha bagi penanam modal skala besar
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah persyaratan bagi penanam modal skala besar untuk dapat membentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum. [Perpres 76/2007 Pasal 15 (3)]
Badan hukum
~ bentuk badan usaha penanaman modal dalam negeri
Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 5 (1)]
~ pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri
Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 25 (2)]
~ dapat dikenai sanksi lainnya
Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 34 (3)]
~ kerja sama yang ditunjuk Pemerintah
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. [UU 25/2007 Pasal 12 (5)]
~ kerjasama yang ditunjuk Pemerintah
Kriteria penetapan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah antara lain: 1. perlindungan sumber daya alam; 2. perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK); 3. pengawasan produksi dan distribusi; 4. peningkatan kapasitas teknologi; 5. partisipasi modal dalam negeri; dan 6. kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah. [Perpres 76/2007 Pasal 11]
~ persyaratan bagi pembentukan
Persyaratan tersebut merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia). [Perpres 77/2007 Pasal 2 (3)]
~ sanksi administratif
Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 34 (1)]
Badan usaha penanaman modal asing
Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. [UU 25/2007 Pasal 5 (2)]
~ pengesahan pendirian
Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 25 (3)]
~ persyaratan bentukan badan usaha
Pilihan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi persyaratan bentukan badan usaha yang berbadan hukum bagi penanam modal, terutama bagi penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia. [Perpres 76/2007 Pasal 4 (2)]
Badan usaha penanaman modal dalam negeri
Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 5 (1)]
~ pengesahan pendirian
Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 25 (2)]
Bahan Berbahaya Beracun
~ mengawasi penggunaan
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 2. melindungi keaneka ragaman hayati; 3. menjaga keseimbangan ekosistem; 4. memelihara kelestarian hutan alam; 5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7. menjaga kedaulatan negara, atau 8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. [Perpres 76/2007 Pasal 9]
Bank
~ melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan
Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal. [UU 25/2007 Pasal 9 (2)]
Bank Indonesia
~ koordinasi kebijakan penanaman modal
Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antara instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah. [UU 25/2007 Pasal 27 (1)]
Bantuan teknis
~ pembayaran
pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan [UU 25/2007 Pasal 8 (3) k.]
Barang dan/atau jasa
~ menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 2. melindungi keaneka ragaman hayati; 3. menjaga keseimbangan ekosistem; 4. memelihara kelestarian hutan alam; 5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7. menjaga kedaulatan negara, atau 8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. [Perpres 76/2007 Pasal 9]
Barang modal
~ yang diproduksi di dalam negeri
industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. [UU 25/2007 Pasal 18 (3) j.]
Bea masuk
~ fasilitas pembebasan atau keringanan atas impor
pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) b.]
~ fasilitas pembebasan atau keringanan bahan baku
pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) c.]
~ keringanan atau pembebasan bagi penanaman modal yang melakukan penggantian mesin
Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk. [UU 25/2007 Pasal 18 (6)]
Bekerja sama
~ syarat keharusan
Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. [UU 25/2007 Pasal 13 (1)]
Berada di daerah terpencil
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; [UU 25/2007 Pasal 18 (3) f.]
Berkelanjutan
~ asas penyelenggaraan penanaman modal
Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [UU 25/2007 Pasal 3 (1)]
Bermitra usaha
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau [UU 25/2007 Pasal 18 (3) i.]
Bertanggung jawab langsung kepada Presiden
• Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. [UU 25/2007 Pasal 27 (3)]
• Yang dimaksud dengan bertanggung jawab langsung kepada Presiden adalah bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam melaksanakan tugas, menjalankan fungsi, dan menyampaikan tanggung jawabnya langsung kepada Presiden. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 27 Ayat (3)]
Berwawasan lingkungan
~ asas penyelenggaraan penanaman modal
Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [UU 25/2007 Pasal 3 (1)]
Bidang industri
penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; [UU 25/2007 Pasal 30 (7) b.]
Bidang pertanahan
Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. [UU 25/2007 Pasal 22 (4)]
Bidang usaha
~ berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan
Bidang usaha berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan "economies of small scale" apabila diusahakan oleh UMKMK, menjadi bagian dari daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (3)]
~ pilihan
Pilihan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi persyaratan bentukan badan usaha yang berbadan hukum bagi penanam modal, terutama bagi penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia. [Perpres 76/2007 Pasal 4 (2)]
~ semua terbuka bagi kegiatan penanaman modal
• Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. [UU 25/2007 Pasal 12 (1)]
• Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. [Perpres 76/2007 Pasal 2 (1)]
~ yang mewajibkan kemitraan
Bidang usaha yang mewajibkan kemitraan penanam modal skala besar dengan UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pola inti plasma, sub kontraktor, dagang umum, keagenan dan bentuk lainnya, tanpa ada perubahan kepemilikan UMKMK, serta dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis. [Perpres 76/2007 Pasal 15 (2)]
Bidang usaha tertentu
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. [UU 25/2007 Pasal 18 (4) f.]
Bidang usaha tertutup
~ pedoman dalam menyusun dan menetapkan
memberikan pedoman dalam menyusun dan menetapkan bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3. 3.]
Bidang usaha yang dicadangkan
• Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (3)]
• Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. [UU 25/2007 Pasal 13 (1)]
• Yang dimaksud dengan bidang usaha yang dicadangkan adalah bidang usaha yang khusus diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 13 (1)]
~ untuk UMKMK
• Bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang-bidang usaha yang merupakan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK tanpa diharuskan menjadi bagian dari daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (2)]
• Pemerintah menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dan bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan. [Perpres 76/2007 Pasal 13]
• Penentuan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (1)]
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup
~ berlaku secara nasional
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri. [Perpres 76/2007 Pasal 10]
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka
~ prinsip transparansi
Prinsip transparansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 3 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi-tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu. [Perpres 76/2007 Pasal 6 (3)]
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan
~ tidak dapat diubah
Prinsip kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak dapat diubah kecuali dengan Peraturan Presiden. [Perpres 76/2007 Pasal 6 (4)]
Bidang usaha yang terbuka
~ bidang usaha yang dicadangkan
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (3)]
~ bidang usaha yang tidak dicadangkan
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (3)]
~ dengan syarat kemitraan
Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan merupakan usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. [Perpres 76/2007 Pasal 15 (1)]
~ kriteria dan persyaratan
Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. [UU 25/2007 Pasal 12 (4)]
~ melindungi UMKMK
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a hanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan ekonomi untuk melindungi UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (2)]
~ persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. [UU 25/2007 Pasal 12 (5)]
~ rekomendasi
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dapat berupa rekomendasi dari instansi/lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, dalam bidang usaha tersebut. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (6)]
~ untuk usaha besar
Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. [UU 25/2007 Pasal 13 (1)]
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
• Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, b bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. [Perpres 77/2007 Pasal 2 (1)]
• Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu. [Perpres 76/2007 Pasal 2 (3)]
• Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan terdiri dari : a. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK. b. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan. c. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu. e. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (1)]
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
~ disusun dengan menggunakan KBLI
Bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan disusun dengan menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan oleh ketersediaan KBLI, atau dengan menggunakan gabungan metode klasifikasi lain pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan. [Perpres 76/2007 Pasal 16]
~ harus memenuhi persyaratan lokasi
Penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. [Perpres 111/200 Pasal 2A (1)]
~ koordinasi penyusunan
Penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (2)]
~ kriteria penetapan
Kriteria penetapan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah antara lain: 1. perlindungan sumber daya alam; 2. perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK); 3. pengawasan produksi dan distribusi; 4. peningkatan kapasitas teknologi; 5. partisipasi modal dalam negeri; dan 6. kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah. [Perpres 76/2007 Pasal 11]
~ manfaat pelaksanaan mekanisme
manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia. [Perpres 76/2007 Pasal 7. 5.]
~ mekanisme
• mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah efektif untuk melindungi kepentingan nasional; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 3.]
• mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah konsisten dengan keperluan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi pengusaha nasional dalam kaitan dengan penanaman modal asing dan/atau masalah yang dihadapi pengusaha kecil dalam kaitan dengan penanaman modal besar secara umum; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 4.]
~ pedoman dalam menyusun dan menetapkan
memberikan pedoman dalam menyusun dan menetapkan bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3. 3.]
~ penentuan
Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : 1. Penyederhanaan; 2. Kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional; 3. Transparansi; 4. Kepastian hukum; 5. Kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal. [Perpres 76/2007 Pasal 5]
~ penyusunan kriteria
Penyusunan kriteria bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. mekanisme pasar tidak efektif dalam mencapai tujuan; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 1.]
~ prinsip penyederhanaan berlaku secara nasional
Prinsip penyederhanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam ekonomi. [Perpres 76/2007 Pasal 6 (1)]
~ usulan Menteri atau Pimpinan instansi terkait
Menteri atau Pimpinan instansi terkait mengusulkan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan beserta alasan pendukung kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menggunakan kriteria dan pertimbangan berdasar Peraturan Presiden ini. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (3)]
Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dan bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan. [Perpres 76/2007 Pasal 13]
Bidang usaha yang tertutup
• Bidang usaha yang tertutup adalah jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 2 (2)]
• Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. [Perpres 77/2007 Pasal 1 (1)]
~ bagi penanam modal asing
Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. [UU 25/2007 Pasal 12 (2)]
~ disusun dengan menggunakan KBLI
Bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan disusun dengan menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan oleh ketersediaan KBLI, atau dengan menggunakan gabungan metode klasifikasi lain pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan. [Perpres 76/2007 Pasal 16]
~ koordinasi penyusunan
Penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (2)]
~ kriteria dan persyaratan
• Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. [UU 25/2007 Pasal 12 (4)]
• Penentuan kriteria dan persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bertujuan untuk: 1. meletakkan landasan hukum yang pasti bagi penyusunan peraturan yang terkait dengan penanaman modal; [Perpres 76/2007 Pasal 3.1.]
• Penentuan kriteria dan persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bertujuan untuk: 1. meletakkan landasan hukum yang pasti bagi penyusunan peraturan yang terkait dengan penanaman modal; [Perpres 76/2007 Pasal 3.1.]
~ manfaat pelaksanaan mekanisme
manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia. [Perpres 76/2007 Pasal 7. 5.]
~ mekanisme
• mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah efektif untuk melindungi kepentingan nasional; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 3.]
• mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah konsisten dengan keperluan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi pengusaha nasional dalam kaitan dengan penanaman modal asing dan/atau masalah yang dihadapi pengusaha kecil dalam kaitan dengan penanaman modal besar secara umum; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 4.]
~ penentuan
Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : 1. Penyederhanaan; 2. Kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional; 3. Transparansi; 4. Kepastian hukum; 5. Kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal. [Perpres 76/2007 Pasal 5]
~ penyusunan kriteria
Penyusunan kriteria bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. mekanisme pasar tidak efektif dalam mencapai tujuan; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 1.]
~ prinsip penyederhanaan berlaku secara nasional
Prinsip penyederhanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam ekonomi. [Perpres 76/2007 Pasal 6 (1)]
~ untuk penanaman modal
• Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. [Perpres 76/2007 Pasal 8]
• Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. [UU 25/2007 Pasal 12 (3)]
~ usulan Menteri atau Pimpinan instansi terkait
Menteri atau Pimpinan instansi terkait mengusulkan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan beserta alasan pendukung kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menggunakan kriteria dan pertimbangan berdasar Peraturan Presiden ini. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (3)]
Bidang usaha yang tidak dicadangkan
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (3)]
Bilateral
~ perjanjian penanaman modal
Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. [UU 25/2007 Pasal 35]
Budaya masyarakat
menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan [UU 25/2007 Pasal 15 d.]
Bunga bank
keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; [UU 25/2007 Pasal 8 (3) b.]
C
Calon penanam modal
~ kemudahan pelayanan dan/atau perizinan
calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (1) c.]
D
Daftar bidang usaha
~ Pemerintah wajib mempublikasikan
Pemerintah wajib mempublikasikan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan secara terbuka di area publik, baik publikasi cetak maupun elektronik yang dapat diakses dari situs pemerintah Indonesia. [Perpres 77/2007 Pasal 4]
Daftar bidang usaha yang dicadangkan
~ proses penetapan
Proses penetapan daftar bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan usulan Menteri teknis yang terkait dengan bidang usaha tersebut, setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara Koperasi Usaha Kecil, dan Menengah, dengan memperhatikan prioritas program pembinaan UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (4)]
Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Presiden ini. [Perpres 77/2007 Pasal 2 (2)]
~ 3 (tiga) tahun terlewati masih tetap berlaku
Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) tahun terlewati dan ternyata daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang baru belum diatur, maka Peraturan Presiden yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan masih tetap berlaku. [Perpres 77/2007 Pasal 3 (1)]
~ dievaluasi dan disempurnakan secara berkala
Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dievaluasi dan disempur-nakan secara berkala sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kepentingan nasional berdasar kajian, temuan dan usulan penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (1)]
~ pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran
memberikan pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. [Perpres 76/2007 Pasal 3.5.]
~ pedoman dalam melakukan pengkajian ulang
memberikan pedoman dalam melakukan pengkajian ulang atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3.4.]
~ pembentukan tim penilai, menyusun, evaluasi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk tim untuk menilai, menyusun, mengevaluasi dan menyempurnakan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (4)]
~ rujukan penanam modal
Daftar bidang usaha yang tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan rujukan penanam modal dalam melakukan pilihan bidang usaha kegiatan penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 4 (1)]
~ tanpa diharuskan menjadi bagian
Bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang-bidang usaha yang merupakan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK tanpa diharuskan menjadi bagian dari daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (2)]
~ transparansi dalam proses penyusunan
menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3. 2.]
Daftar bidang usaha yang tertutup
Daftar bidang usaha yang tertutup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Presiden ini. [Perpres 77/2007 Pasal 1 (2)]
~ 3 (tiga) tahun terlewati masih tetap berlaku
Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) tahun terlewati dan ternyata daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang baru belum diatur, maka Peraturan Presiden yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan masih tetap berlaku. [Perpres 77/2007 Pasal 3 (1)]
~ dievaluasi dan disempurnakan secara berkala
Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dievaluasi dan disempurnakan secara berkala sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kepentingan nasional berdasar kajian, temuan dan usulan penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (1)]
~ pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran
memberikan pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. [Perpres 76/2007 Pasal 3.5.]
~ pedoman dalam melakukan pengkajian ulang
memberikan pedoman dalam melakukan pengkajian ulang atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3.4.]
~ pembentukan tim penilai, menyusun, mengevaluasi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk tim untuk menilai, menyusun, mengevaluasi dan menyempurnakan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (4)]
~ rujukan penanam modal
Daftar bidang usaha yang tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan rujukan penanam modal dalam melakukan pilihan bidang usaha kegiatan penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 4 (1)]
~ transparansi dalam proses penyusunan
menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; [Perpres 76/2007 Pasal 3. 2.]
Dagang umum
Bidang usaha yang mewajibkan kemitraan penanam modal skala besar dengan UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pola inti plasma, sub kontraktor, dagang umum, keagenan dan bentuk lainnya, tanpa ada perubahan kepemilikan UMKMK, serta dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis. [Perpres 76/2007 Pasal 15 (2)]
Dana
~ hak penanam modal untuk melakukan transfer dan repatriasi
dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 8 (3) c.]
~ kewajiban penanam modal mengalokasikan secara bertahap
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 17]
Daya saing
• Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. [UU 25/2007 Pasal 13 (2)]
• mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 28 (1) g.]
Daya saing perekonomian nasional
Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk: a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b. mempercepat peningkatan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 4 (1)]
Departemen/instansi terkait
~ koordinasi
Dalam rangka penetapan norma, standar, dan prosedur Badan Koordinasi Penanaman Modal berkoordinasi dengan departemen/ instansi terkait. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 28 (1) c]
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
~ Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor I Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan [UU 25/2007 Pasal 38 a.]
~ Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944), [UU 25/2007 Pasal 38 b.]
Dinyatakan batal demi hukum
~ perjanjian dan/atau pernyataan
Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. [UU 25/2007 Pasal 33 (2)]
Dinyatakan tidak berlaku
~ Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal; dan [Perpres 77/2007 Pasal 7 (1)]
~ Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan, dinyatakan tidak berlaku. [Perpres 77/2007 Pasal 7 (2)]
~ Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal; dan [Perpres 77/2007 Pasal 7 (1)]
Diperpanjang di muka sekaligus
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
~ persyaratan
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing [UU 25/2007 Pasal 22 (2) a]
Direktorat Jenderal Imigrasi
~ pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing
Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (4)]
Dunia usaha
meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; [UU 25/2007 Pasal 3 (2) d.]
E
Economies of small scale
Bidang usaha berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan "economies of small scale" apabila diusahakan oleh UMKMK, menjadi bagian dari daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. [Perpres 76/2007 Pasal 14 (3)]
Efisiensi
~ kriteria wajib pemerintah daerah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 30 (3)]
Efisiensi berkeadilan
~ asas penyelenggaraan penanaman modal
Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [UU 25/2007 Pasal 3 (1)]
Ekonomi
~ mempercepat pengembangan
Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus. [UU 25/2007 Pasal 31 (1)]
Ekonomi Indonesia
manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia. [Perpres 76/2007 Pasal 7. 5.]
Ekonomi berkelanjutan
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; [UU 25/2007 Pasal 3 (2) c.]
Ekonomi kerakyatan
mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; [UU 25/2007 Pasal 3 (2) f.]
Ekonomi potensial
mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan [UU 25/2007 Pasal 3 (2) g.]
Ekosistem
~ menjaga keseimbangan
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 2. melindungi keaneka ragaman hayati; 3. menjaga keseimbangan ekosistem; 4. memelihara kelestarian hutan alam; 5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7. menjaga kedaulatan negara, atau 8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. [Perpres 76/2007 Pasal 9]
Eksternalitas
~ kriteria wajib pemerintah daerah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 30 (3)]
Elektronik
~ kewajiban Pemerintah mempublikasikan daftar bidang usaha
Pemerintah wajib mempublikasikan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan secara terbuka di area publik, baik publikasi cetak maupun elektronik yang dapat diakses dari situs pemerintah Indonesia. [Perpres 77/2007 Pasal 4]
Evaluasi
~ Hak atas Tanah yang dapat diperbarui
Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. [UU 25/2007 Pasal 22 (3)]
Evaluasi dan disempurnakan secara berkala
~ daftar bidang usaha
Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dievaluasi dan disempur-nakan secara berkala sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kepentingan nasional berdasar kajian, temuan dan usulan penanam modal. [Perpres 76/2007 Pasal 17 (1)]
F
Fasilitas
~ diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah: [UU 25/2007 Pasal 19]
~ kemudahan hak penanam modal
Setiap penanam modal berhak mendapat: a.kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 14]
~ kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal
Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 18 (1)]
~ kepada penanaman modal yang melakukan peluasan usaha
Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang: a. melakukan peluasan usaha; atau b. melakukan penanaman modal baru. [UU 25/2007 Pasal 18 (2)]
~ kepada penanaman modal yang melakukan penanaman modal baru
Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang: a. melakukan peluasan usaha; atau b. melakukan penanaman modal baru. [UU 25/2007 Pasal 18 (2)]
~ keringanan Pajak Bumi dan Bangunan
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. [UU 25/2007 Pasal 18 (4) f.]
~ keringanan atau pembebasan bea masuk
Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk. [UU 25/2007 Pasal 18 (6)]
~ pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa: a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu [UU 25/2007 Pasal 18 (4) a]
~ pembebasan atau keringanan bea masuk
• pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) b.]
• pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) c.]
~ pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai
pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) d.]
~ pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan
Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. [UU 25/2007 Pasal 18 (5)]
~ penanam modal asing
Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu: a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) a]
~ penanaman modal yang menyerap banyak tenaga kerja
Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a. menyerap banyak tenaga kerja; [UU 25/2007 Pasal 18 (3) a]
~ penyusutan atau amortisasi dipercepat
penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan [UU 25/2007 Pasal 18 (4) e.]
~ tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas. [UU 25/2007 Pasal 20]
Fasilitas fiskal
• Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. [UU 25/2007 Pasal 18 (7)]
• Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 26 (1)]
Fasilitas keimigrasian
• Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk: a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 23 (1) a]
• Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor. [UU 25/2007 Pasal 21]
~ diberikan atas rekomendasi Badan Koordinasi Penanaman Modal
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (2)]
Fasilitas perizinan impor
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor. [UU 25/2007 Pasal 21]
~ barang dalam rangka relokasi pabrik
barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan [UU 25/2007 Pasal 24 c.]
~ barang modal atau bahan baku
barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri. [UU 25/2007 Pasal 24 d.]
~ barang yang tidak bertentangan dengan ketentuan perun-dang-undangan
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor: a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang; [UU 25/2007 Pasal 24 a]
~ barang yang tidak memberikan dampak negatif
barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa; [UU 25/2007 Pasal 24 b.]
Fiskal
~ ketentuan pemberian
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. [UU 25/2007 Pasal 18 (7)]
G
Ganti rugi
~ tidak tercapai kesepakatan
Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. [UU 25/2007 Pasal 7 (3)]
Gubernur
~ pelimpahan urusan penanaman modal
Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpah-kannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/ kota. [UU 25/2007 Pasal 30 (8)]
H
HGB lihat Hak Guna Bangunan
HGU lihat Hak Guna Usaha
HP lihat Hak Pakai
Hak atas kekayaan intelektual
pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan [UU 25/2007 Pasal 8 (3) k.]
Hak atas tanah
~ dapat dihentikan atau dibatalkan
Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, meng-gunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. [UU 25/2007 Pasal 22 (4)]
~ dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi
Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. [UU 25/2007 Pasal 22 (3)]
~ kemudahan pelayanan dan/atau perizinan
• Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
• Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor. [UU 25/2007 Pasal 21]
~ persyaratan dapat diperpanjang di muka sekaligus
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing [UU 25/2007 Pasal 22 (2) a]
Hak atas tanah negara
~ persyaratan Hak atas Tanah yang dapat diperpanjang
penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan [UU 25/2007 Pasal 22 (2) d]
Hak guna bangunan
~ dapat diperbaruhi selama 30 tahun
Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) b]
~ diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun
Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) b]
~ jangka waktu
Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan [UU 25/2007 Pasal 22 (1) b]
~ dapat diperbaruhi selama 35 tahun
Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) a]
Hak guna usaha
~ diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun
Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) a]
~ jangka waktu
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; [UU 25/2007 Pasal 22 (1) a]
Hak istimewa
Yang dimaksud dengan hak istimewa adalah antara lain hak istimewa yang berkaitan dengan kesatuan kepabeanan, wilayah perdagangan bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter, kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional, atau multilateral yang berkaitan dengan hak istimewa tertentu dalam penyelenggaraan penanaman modal. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 6 (2)]
~ penanam modal
Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. [UU 25/2007 Pasal 6 (2)]
Hak kepemilikan penanam modal
~ pengambilalihan
Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. [UU 25/2007 Pasal 7 (1)]
Hak kreditor
~ pelaksanaan hukum
pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan [UU 25/2007 Pasal 8 (5) c.]
Hak pakai
~ dapat diperbaruhi selama 25 tahun
Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) c]
~ jangka waktu
Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Pasal 22 (1) c]
~ diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun
Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 22 (1) c]
Hak pelayanan
~ hak penanam modal
Setiap penanam modal berhak mendapat: a.kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 14]
Hak Pemerintah
~ untuk mendapatkan pajak, royalti, pendapatan lain
hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; [UU 25/2007 Pasal 8 (5) b.]
Hak penanam modal
Setiap penanam modal berhak mendapat: a.kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 14]
~ transfer dan repatriasi
Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 8 (4)]
~ transfer dan repatriasi dalam valuta asing
Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap: a. modal; [UU 25/2007 Pasal 8 (3)]
~ transfer dan repatriasi dapat ditunda
Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal: a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. [UU 25/2007 Pasal 9 (1)]
Harga pasar
Yang dimaksud dengan harga pasar adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 7 (2)]
~ penetapan kompensasi
Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. [UU 25/2007 Pasal 7 (2)]
Hasil penjualan
hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; [UU 25/2007 Pasal 8 (3) h.]
Hasil penjualan aset
hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). [UU 25/2007 Pasal 8 (3) l.]
Hayati
~ melindungi keaneka ragaman
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 2. melindungi keaneka ragaman hayati; 3. menjaga keseimbangan ekosistem; 4. memelihara kelestarian hutan alam; 5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7. menjaga kedaulatan negara, atau 8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. [Perpres 76/2007 Pasal 9]
Hukum
~ menyatakan batal
Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. [UU 25/2007 Pasal 33 (2)]
Hutan alam
~ memelihara kelestarian
Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 2. melindungi keaneka ragaman hayati; 3. menjaga keseimbangan ekosistem; 4. memelihara kelestarian hutan alam; 5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7. menjaga kedaulatan negara, atau 8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. [Perpres 76/2007 Pasal 9]
I
ISIC lihat Internasional Standard for Industrial Classification
Impor
~ barang yang tidak memberikan dampak negatif
barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa; [UU 25/2007 Pasal 24 b.]
~ fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk
pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) b.]
~ fasilitas pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai
pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; [UU 25/2007 Pasal 18 (4) d.]
~ fasilitas perizinan
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor: a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang; [UU 25/2007 Pasal 24 a]
~ kemudahan pelayanan dan/atau perizinan
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor. [UU 25/2007 Pasal 21]
Indonesia
~ kewajiban yang termuat dalam atau komitmen internasional
Prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi. [Perpres 76/2007 Pasal 6 (2)]
Industri
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. [UU 25/2007 Pasal 18 (3) j.]
Industri pionir
Yang dimaksud dengan industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 18 (3) e]
~ penanaman modal baru
Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. [UU 25/2007 Pasal 18 (5)]
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
melakukan industri pionir; [UU 25/2007 Pasal 18 (3) e.]
Informasi
~ hak penanam modal
Setiap penanam modal berhak mendapat: a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 14]
Informasi mengenai penanaman modal
~ kemudahan memperoleh
Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. [UU 25/2007 Pasal 26 (1)]
Inovasi
~ salah satu kriteria pemberian fasilitas penanaman modal
melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; [UU 25/2007 Pasal 18 (3) h.]
Instansi atau lembaga yang berwenang
~ ketentuan dan syarat berlaku
Ketentuan Peraturan Presiden ini tidak mengurangi kewajiban penanam modal untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku untuk kegiatan penanaman modal tersebut untuk melakukan kegiatan usaha yang dikeluarkan oleh instansi teknis yang berwenang yang membawahi bidang usaha penanaman modal. [Perpres 77/2007 Pasal 6]
Instansi atau lembaga yang berwenang
~ sanksi administratif
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 34 (2)]
Instansi/lembaga pemerintah atau non pemerintah
~ rekomendasi
Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dapat berupa rekomendasi dari instansi/lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, dalam bidang usaha tersebut. [Perpres 76/2007 Pasal 12 (6)]
Instrumen kebijakan lain
kepentingan nasional tidak dapat dilindungi dengan lebih baik melalui instrumen kebijakan lain; [Perpres 76/2007 Pasal 7. 2.]
Internasional
~ perjanjian penanaman modal
Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. [UU 25/2007 Pasal 35]
Internasional Standard for Industrial Classification
Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau Internasional Standard for Industrial Classification (ISIC). [UU 25/2007 Penjelasan Pasal 12 (1)]
Inti plasma
Bidang usaha yang mewajibkan kemitraan penanam modal skala besar dengan UMKMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pola inti plasma, sub kontraktor, dagang umum, keagenan dan bentuk lainnya, tanpa ada perubahan kepemilikan UMKMK, serta dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis. [Perpres 76/2007 Pasal 15 (2)]
Izin
~ diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu. [UU 25/2007 Pasal 25 (5)]
~ kewajiban perusahaan penanaman modal yang akan melaku-kan kegiatan usaha
Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. [UU 25/2007 Pasal 25 (4)]
Izin lokasi
~ penanaman modal
Dalam hal izin penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). [Perpres 111/200 Pasal 2A (2)]
Izin masuk kembali
~ bagi pemegang izin tinggal terbatas
• pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) c.]
• pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan [UU 25/2007 Pasal 23 (3) d.]
~ bagi pemegang izin tinggal tetap
pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. [UU 25/2007 Pasal 23 (3) e.]
Izin tinggal terbatas
~ bagi penanam modal asing
Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. [UU 25/2007 Pasal 23 (4)]
~ bagi penanam modal asing selama 2 tahun
Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu: a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) a]
~ dapat dilakukan menjadi izin tinggal tetap
pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) b.]
~ pemberian izin masuk kembali
• pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; [UU 25/2007 Pasal 23 (3) c.]
• pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan [UU 25/2007 Pasal 23 (3) d.]
Izin usaha
~ yang telah berakhir dapat diperpanjang berdasarkan undang-undang ini
Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 [UU 25/2007 Pasal 37 (4)]
Izin usaha baru
~ tidak diwajibkan
Untuk memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru." [Perpres 111/200 Pasal 2A (3)]
J
Jabatan dan keahlian tertentu
Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [UU 25/2007 Pasal 10 (2)]
Jaminan
~ keamanan
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan [UU 25/2007 Pasal 4 (2) b.]
~ kepastian berusaha
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan [UU 25/2007 Pasal 4 (2) b.]
~ kepastian hukum
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan [UU 25/2007 Pasal 4 (2) b.]
Untuk memiliki PENUNJUK ini secara lengkap, milikilah buku saku yang berjudul
PENANAMAN MODAL:
Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007
ISBN: 978-9790-3999-36-4
Harga Rp40.000,-
Informasi lebih lanjut hubungi :
PT Tatanusa
Telp. (021) 743 4810; 742 8765
Fax. (021) 747 00631
e-mail: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Peraturan Baru
Aktual
TAP MPR 1960 - 2001
- Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara.
Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1963
- Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia seumur hidup
- Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan
Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1965
- Ketetapan MPRS No. V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang berjudul Berdikari sebagai Penegasan Revolusi Indonesia dalam bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan
- Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri Diatas Kaki Sendiri Dibidang Ekonomi dan Pembangunan
- Ketetapan MPRS No. VII/MPRS/1965 tentang GESURI, TAVIP, the Fifth Freedom is Our Weapon, the Era of Confrontation sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia
- Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah Untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman Bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/ Perwakilan
Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1966
- Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat perintah presiden/Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
- Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia
- Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera
- Ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Kabinet pembentukan panitia-panitia Ad Hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang bertugas melakukan penelitian lembaga-lembaga negara, penyusunan bagian pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga menurut sistem Undang-undang Dasar 1945
- Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/ penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabat Presiden
- Ketetapan MPRS No. XVI/MPRS/1966 tentang Pengertian Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi
- Ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara nomor III/MPRS/1963
- Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Negara diluar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
- Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepada Daerah
- Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan
- Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan
- Ketetapan MPRS No. XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan Keamanan
- Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
- Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan panitia peneliti ajaran-ajaran pemimpin besar revolusi Bung Karno
- Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, pendidikan dan kebudayaan
- Ketetapan MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
- Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera
- Ketetapan MPRS No. XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan bintang maha putera kelas III dari D.N. Aidit
- Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian sebutan Paduka Yang Mulia (P.Y.M.), Yang Mulia (Y.M.), Paduka Tuan (P.T.) dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari
- Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers
Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1967
- Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno
- Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan kembali ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan negara
- Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara nomor XVII/MPRS/1966
- Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXVI/MPRS/1966
Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1968
- Ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor VIII/MPRS/1965
- Ketetapan MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
- Ketetapan MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966
- Ketetapan MPRS No. XL/MPRS/1968 tentang Pembentukan panitia ad hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
- Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968 tentang Tugas Pokok Kabinet Pembangunan
- Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPRS No. XLIII/MPRS/1968 tentang Penjelasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor IX/MPRS/1966
- Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1973
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1973 tentang Peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1973 tentang Pertanggunganjawab presiden republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/1973 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan tugas dan kewenangan kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melaksanakan tugas pembangunan
- Ketetapan MPR No. XI/MPR/1973 tentang Pengangkatan wakil presiden republik Indonesia
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1978
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1978 tentang Pertanggung-jawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1978 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan tugas dan wewenang kepada presiden/mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka pensuksesan dan pengamanan pembangunan nasional
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973
- Ketetapan MPR No. X/MPR/1978 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1983
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Terbit Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1983 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1983 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat serta pengukuhan pemberian penghargaan sebagai bapak pembangunan Indonesia
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1983 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1983 tentang Pelimpahan tugas dan wewenang kepada presiden/mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka pensuksesan dan pengamanan pembangunan nasional
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1983 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1988
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1988 tentang Perubahan dan tambahan atas ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1988 tentang Pertanggung-jawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1988 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan tugas dan wewenang kepada presiden/mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1988 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1993
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1993 tentang Perubahan atas Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/1983 tentang Peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. I/MPR/1988
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1993 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1993 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1993 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1998
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1998 tentang Perubahan dan tambahan atas Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/1983 tentang Peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan ketetapan MPR-RI No. I/MPR/1988 & Ketetapan MPR-RI No.I/MPR/1993
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1998 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan
- Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum
- Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi
- Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
- Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 1999
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1999 tentang Perubahan kelima atas ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 2000
- Ketetapan MPR No. I/MPR/2000 tentang Perubahan Pertama atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. II/MPR/2000 tentang Perubahan Kedua atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
- Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
- Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2000
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Ketetapan-ketetapan MPR-RI Tahun 2001
- Ketetapan MPR No. I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 21
- Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K. H. Abdurrahman Wahid
- Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia
-Ketetapan MPR No. IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
-Ketetapan MPR No. V/MPR/2001 tentang Perubahan Ketiga atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
-Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
-Ketetapan No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan
-Ketetapan No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
-Ketetapan No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
-Ketetapan No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001
-Ketetapan No. XI/MPR/2001 tentang Perubahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945